PT SWA Berikan Fakta HGU Atas Lahan Perkebunan di Desa Sungai Sodong

  • Bagikan

SUMSEL DAILY, PALEMBANG – Terkait penyengketaan tanah yang dipermasalahkan oleh masyarakat Desa Sungai Sodong Kecamatan Mesuji dengan PT Sumber Wangi (SWA), akhirnya pihak perusahaan angkat bicara di Kantornya yang berada di Jalan Residen Abdul Rozak, Ilir Timur I, Bukit Sangkal, Kalidoni, Palembang, Kamis (22/06/2023).

Direktur PT Sumber Wangi Alam (SWA), Riki Sitorus mengatakan, pihaknya diundang pada rapat mediasi permasalahan masyarakat Desa Sungai Sodong Kecamatan Mesuji dengan PT Sumber Wangi (SWA) pada 15 Juni 2023 lalu.

“Persisnya ada undangan dari pemerintah daerah OKI yang judulnya itu mediasi antara masyarakat Sodong dengan PT SWA. Yang hadir itu kebetulan saya adalah direktur perusahaan SWA, memang ini pemiliknya ada saya dan abang saya. Perusahaan ini adalah perusahaan lama di Kabupaten OKI. Namun sekitar 2 atau 3 tahun kita beli lahan itu dan tentu saat take over kami melakukan pengamatan legalitasnya. Sehingga kalau SWA ini untuk perusahaannya dalam perkebunan tentu di situ ada persyaratan yang diperlukan antara lain legalitasnya atau HGU nya ada atau tidak. Kemudian apa kewajiban yang perlu dilakukan sebagai pemegang HGU sebelum dia mendapat HGU kita cermati dengan tim kita sesuai atau tidak dan ternyata semuanya sesuai,” ujarnya.

Riki menuturkan, perusahaannya PT SWA valid dan sah melakukan jual beli, serta disana dinyatakan pemiliknya manajemen lama sah pemilik HGU.

“Saya sebagai warga negara diminta datang di pertemuan itu ada mediatornya yakni Pemda OKI dan hadir juga Sekda, ada juga pak Kapolres yang diwakili oleh Kabag Ops, ada juga Dandim yang diwakili oleh Danramil Mesuji dan pihak masyarakat kurang lebih 40 orang, Padahal kami datang 4 orang saja dan staf lapangan kemudian ada humas dan legal kami dan dewan penasehat,” bebernya.

Agenda mediasi ini sambung dia, dasarnya adalah mediasi tingkat Forkompinda ditingkat kabupaten atas permintaan kepala desa Sungai Sodong, camat Mesuji dan berdasarkan informasi dari Kasat Intel Polres OKI.

“Dibawah kecamatan itu tidak memuaskan semua pihak, tapi belum mempunyai kesimpulan yang pasti diangkat ke tingkat daerah atas usul dari Desa Sungai Sodong dan camat Mesuji dan informasi dari Kasat Intel polres OKI kami tidak tahu ada rapat forkompinca. Menurut perwakilan kami di lapangan, beliau didatangi oleh pihak Polres OKI pada suatu malam, tapi itu menurut kami adalah kunjungan bukan mediasi. Kalau datang seperti itu dan tidak bertemu dalam forum resmi atau bertemu suatu tempat, kami menganggap itu bukan mediasi tapi kunjungan kerja dari pihak sana, Itu tidak cocok disebut mediasi,” ucapnya.

Menurut Riki, saat rapat Forkompinda itu boleh disebut mediasi karena didatangkan kedua pihak. Yakni dari PT SWA dan dari masyarakat itu ada dasarnya untuk mediasi.

“Dalam agenda rapat mediasi itu ada tiga tuntutan, pertama perusahaan tidak boleh mengelola di areal HGU seluas 633 hektar. Kedua, tidak mengganggu kelompok kepala burung 298 hektar plasma. Ketiga, tidak mengganggu areal tanah kosong yang belum ditanami sawit seluas lebih kurang 1400 hektar di dalam satu HGU PT SWA ini. Tuntutan itulah menurut Kasat Intel Polres OKI yang dituntut oleh masyarakat Sungai Sodong kepada perusahaan untuk tidak diganggu karena itu milik masyarakat menurut Kasat Intel Polres OKI,” tegasnya.

“Kami ada SK HGU, kemudian sebelum kami menjawab tuntutan yang disampaikan, ada dua orang diawal forum tersebut, saya tanggapi bahwa kami tidak pernah merasa bertikai dengan orang. Untuk HGU itu kita miliki dari proses yang legal dan sebelum beli kita sudah bertanya kepada BPN apakah ini legal atau pernah dicabut atau belum. Masih berlaku sampai saat ini terhadap tuntutan dari masyarakat yang informasinya dari kasat Intel ini ini yang saya rasa kalau polisi presisi ini kurang proses presisi,” tuturnya.

“Waktu masyarakat bertemu dengan kami di forum mediasi itu, mereka tidak bawa bukti-bukti kepemilikan. Sehingga saya agak bingung juga melihat Kasat Intel ini kenapa tidak presisi. Kalau gosip-gosip dibawa ke ranah hukum ya repot. Ini merepotkan kita dari Jakarta kita perusahaan tidak bekerja karena pimpinan harus berkumpul menghadiri rapat mediasi itu,” tuturnya.

Menurut Riki, sepatutnya membangun bangsa kita ini dan mencerdaskan kehidupan bangsa ini harus juga menarik investasi untuk produk pembangunan bergerak, harus ada kepastian hukum.

“Pastikan dulu baru kami dipanggil, bahwa 633 hektar itu ada sertifikat HGU nya karena di dalam HGU itu kita juga tanam perusahaan itu yang menanam tentu kami sebagai pemilik HGU yang punya kewajiban memberikan laporan yang sudah diberikan. Ini perkebunan kita ada laporan wajib perbulan di sana dikenakan pajak penghasilan oleh pemasukan negara. Tapi ini jadi bingung kita karena itu diduduki oleh masyarakat. Berapa produksinya kita tidak tahu. Karena ada kewajiban dan ada hak yang harus kami ambil dan kewajiban yang kami lakukan berdasarkan legalitas ini yang harus kami penuhi kepada negara dan itu sudah kami lakukan. Ini menunjukkan bahwa sesuai aturan HGU, harusnya tidak ada lagi fasilitasi mediasi ini apalagi informasi beliau yang kurang presisi ini menurut hemat saya,” terangnya.

“Jadi dasar pada itu semua masih lahan kosong yang diharuskan ditanam, itu kewajiban perusahaan yang dapat HGU, menurut mereka tidak boleh ya kalau tidak boleh kami salah. Tapi kalau haknya saya tetap bikin saja tunjukkan saja sertifikatnya laporkan ke Polisi, dilanjutkan ke kejaksaan dan kejaksaan melimpahkan ke pengadilan. Kalau memang pengadilan mengatakan dia punya yang sah, ya kita akan kembalikan HGU kepada BPN,” tutupnya.

  • Bagikan
Exit mobile version