SUMSELDAILY.CO.ID, BATUBARA – Alih-alih hanya berbicara soal emisi dan energi bersih, PT INALUM (Persero) memilih cara lain: menumbuhkan solusi dari lumpur pesisir.
Sebagai satu-satunya produsen aluminium terintegrasi di Indonesia, perusahaan ini tak hanya berbicara tentang efisiensi energi dari Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di hulu, tetapi juga menanam harapan baru di pesisir lewat ribuan batang mangrove yang tumbuh di Pantai Sejarah, Kabupaten Batubara, Sumatera Utara.
Bagi INALUM, mangrove bukan sekadar vegetasi pantai, melainkan infrastruktur alami yang mengunci karbon, melindungi garis pantai, dan menumbuhkan kehidupan ekonomi baru di sekitar wilayah operasinya.
“Mangrove adalah aset ekosistem yang menyeimbangkan antara industri dan alam. Ia menyerap CO₂, menyimpan karbon dalam sedimen selama ratusan tahun, dan menjadi benteng bagi masyarakat pesisir,” ujar Melati Sarnita, Direktur Utama PT INALUM (Persero).
Dari PLTA ke Pesisir: Rantai Hijau yang Terhubung
INALUM selama ini dikenal sebagai industri aluminium berbasis energi air dari PLTA Asahan sumber daya energi bersih yang menekan intensitas emisi dibanding pabrik aluminium berbasis batubara. Namun kesadaran perusahaan ini tidak berhenti di hulu. Di hilir, mereka menanam mangrove untuk melengkapi rantai nilai hijau yang lebih utuh.
“Energi bersih di hulu dan ekosistem pulih di hilir menjadi satu kesatuan narasi Green Aluminium,” jelas Ivan Ermisyam, Direktur Operasional PT INALUM. “Keduanya menciptakan jejak karbon rendah sekaligus membangun ketangguhan pesisir.”
Hingga 2024, INALUM telah menanam 33.250 bibit mangrove di kawasan Pantai Sejarah setara dengan 6,7 hektare lahan rehabilitasi. Penanaman dilakukan melalui dua metode: penanaman konvensional bersama mitra masyarakat, dan pohon asuh, yaitu program tanam dengan kontrak pemantauan selama tiga tahun untuk memastikan bibit bertahan hidup.
Di Antara Akar dan Harapan: Wajah Pesisir yang Berubah
Siang itu, air laut cukup tenang menerpa bibir Pantai Sejarah. Di antara batang-batang bakau muda, Siti Nurhayati (38) tampak menjemur lembaran kain batik bermotif daun mangrove di salah satu bangunan kios di Kawasan Mangrove Park, Pantai Sejarah,Batubara, Sumatera Utara, Selasa (22/10/2025).
Dulu, ia hanya mengandalkan hasil tangkapan suami yang tak menentu. Kini, dari tangan-tangan warga seperti Siti lahir kerajinan batik mangrove yang dijual ke wisatawan dan pameran lokal.
“Dulu kami takut laut makin dekat, tiap tahun abrasi makin parah. Sekarang, bakau ini seperti tembok hidup. Kami juga dapat penghasilan dari wisata dan batik,” tuturnya sambil tersenyum.
Kisah Siti adalah satu dari puluhan warga yang kini bergabung dalam Kelompok Tani Cinta Mangrove (KTCM), mitra binaan INALUM. Mereka dilibatkan dari tahap persemaian hingga pemeliharaan. Tak hanya menanam, tapi juga menjadi pemandu ekowisata, pengrajin batik, hingga pengelola sekolah alam.
“Kami ingin masyarakat menjadi penjaga sekaligus penerima manfaat. Karena itu, kami dukung pelatihan, studi banding, hingga bantuan alat untuk UMKM,” kata Ali Hasian Harahap, Vice President CSR PT INALUM.
Dampak Nyata: Menyerap Karbon, Menumbuhkan Ekonomi
Secara ilmiah, setiap hektare hutan mangrove mampu menyerap 5–10 ton CO₂ ekuivalen per tahun. Jika dihitung konservatif, area tanam INALUM berpotensi menyerap sekitar 33–67 ton CO₂ setiap tahun. Angka itu memang kecil di atas kertas, namun bermakna besar bagi upaya nasional menurunkan emisi gas rumah kaca dan mencapai target Net Zero Emission 2060.
Lebih dari sekadar serapan karbon, dampak sosialnya terasa nyata. Masyarakat pesisir yang dulu hanya menggantungkan hidup pada hasil laut kini memiliki sumber penghidupan baru. Edu-ekowisata mangrove yang dikembangkan bersama INALUM menghadirkan pengalaman belajar lingkungan, ekonomi kreatif, sekaligus destinasi baru bagi wisatawan lokal.
Kawasan Pantai Sejarah kini tumbuh menjadi edu-ekowisata yang menyatukan tiga pilar: lingkungan, sosial, dan ekonomi. Pengunjung dapat menelusuri jalur kayu di tengah rimbun bakau, menyaksikan burung kuntul beterbangan di langit jingga, hingga belajar tentang fungsi ekologis mangrove sebagai penyerap karbon alami.
Belajar dari Alam: Keberlanjutan Pascatanam
INALUM menyadari bahwa menanam hanyalah langkah awal. Tantangan sesungguhnya terletak pada menjaga kelestarian selama 24–36 bulan pertama, masa kritis bagi kelangsungan hidup bibit mangrove.
KTCM bersama dinas dan mitra akademik menjadi garda depan pemantauan berkala, penyulaman, serta pengawasan lingkungan. Monitoring dilakukan setiap triwulan dengan metode visual dan teknologi drone, dilengkapi citra satelit tahunan untuk melihat pertumbuhan kanopi.
Meski belum memiliki data ilmiah lengkap tentang carbon stock, INALUM berencana menggandeng lembaga akademik untuk melakukan baseline study karbon di wilayah pesisir Batubara. Langkah ini menjadi dasar menuju pengelolaan karbon berbasis data yang kredibel, sekaligus membuka peluang riset kolaboratif antara industri dan universitas.
Antara Carbon Offset dan In-Setting
Menariknya, proyek mangrove INALUM belum dikategorikan sebagai program carbon offset. Fokus utamanya bukan pada sertifikasi kredit karbon, tetapi pada in-setting pengurangan emisi yang dilakukan di dalam rantai nilai perusahaan itu sendiri.
“Kami ingin program ini tumbuh dari bawah, melibatkan masyarakat dan membangun ketahanan lingkungan di sekitar wilayah operasi. Jika nanti ingin menuju sertifikasi offset, kami akan pastikan semua parameter ilmiah dan verifikasi independen terpenuhi,” jelas Ali Hasian Harahap.
INALUM sendiri telah menyiapkan Roadmap Dekarbonisasi 2025, panduan untuk mencapai target Net Zero Emission 2060. Dokumen ini mencakup langkah-langkah pengurangan emisi di seluruh lini operasi, efisiensi energi, serta integrasi pengelolaan karbon berbasis alam seperti mangrove.
Mangrove sebagai Simbol Green Aluminium
Bagi INALUM, menanam mangrove bukan proyek seremonial, melainkan bagian dari filosofi keberlanjutan. “Aluminium untuk masa depan rendah karbon” menjadi pesan kunci yang menghubungkan antara industri, karbon, dan oksigen.
“Menanam mangrove adalah investasi de-risking iklim,” tutur Melati Sarnita. “Ia melindungi aset, mengurangi jejak karbon, dan memperkuat lisensi sosial untuk beroperasi. Industri dan alam bukan dua kutub yang bertentangan keduanya bisa saling menguatkan.”
INALUM berencana memperluas dukungan penanaman hingga 10.000 pohon baru setiap tahun, memperkuat kemitraan dengan sekolah-sekolah pesisir, lembaga swadaya masyarakat, dan pemerintah daerah.
Program Sekolah Alam Kilas Sejarah kini menjadi jembatan edukasi lingkungan bagi generasi muda Batubara, sementara kolaborasi dengan komunitas lokal diarahkan pada kewirausahaan hijau yang berkelanjutan.
Citra Aluminium Indonesia di Mata Dunia
Dengan PLTA di hulu dan mangrove di hilir, INALUM sedang membangun reputasi baru bagi industri aluminium Indonesia. Produk yang dihasilkan bukan sekadar logam ringan untuk kebutuhan global, tetapi simbol dari transformasi industri yang bertanggung jawab terhadap bumi.
INALUM menegaskan bahwa jalan menuju green industry bukan hanya soal teknologi, tetapi juga tentang harmoni dengan alam dan masyarakat.
“Green Aluminium bukan jargon,” tegas Melati Sarnita. “Ini komitmen nyata: energi bersih, karbon terkunci, pesisir terlindungi, dan masyarakat sejahtera.”
Penutup
Dari hulu ke hilir, dari air ke akar bakau, perjalanan INALUM menunjukkan bahwa keberlanjutan sejati lahir dari kesadaran ekologis dan kolaborasi sosial.
Di Pantai Sejarah, batang-batang mangrove muda tumbuh menyerap karbon dan menuliskan kisah baru tentang industri yang belajar menghijau dan laut yang kembali bernapas.
