SUMSELDAILY.CO.ID, PALEMBANG – Di lantai licin Pasar 16 Ilir, aroma ikan segar bercampur dengan teriakan pedagang yang saling bersaing. Di tengah hiruk-pikuk itu, Herlina Sari (41) menimbang adonan pempek dengan cekatan. Dari luar, ia tampak seperti pedagang lain. Namun di balik ketenangan wajahnya, tersimpan kisah yang hampir membuatnya berhenti berjualan.
“Waktu itu saya cuma tinggal punya seratus ribu,” ujarnya pelan, dalam wawancara langsung di Pasar 16 Ilir, Palembang, pada 12 November 2024. “Saya berdiri di sini juga, tangan gemetar. Saya tanya diri sendiri: apa ini hari terakhir saya jualan?”
Tiga tahun lalu, pandemi menghantam habis-habisan. Freezer kosong, utang menumpuk, dan pelanggan tetap berhenti memesan. Suatu pagi di 2021, telepon dari pelanggan terakhirnya di Pangkalan Balai datang, membawa kabar dingin: “Mbak, tahun ini kami stop order dulu, ya.” Malam itu, di rumah panggungnya di Kelurahan 14 Ulu, Herlina menangis tanpa suara dan sempat berpikir menjual seluruh peralatan masak. “Saya pikir, mungkin usaha ini memang bukan buat saya,” kenangnya melalui wawancara telepon pada 14 November 2024.
Pinjaman ke bank selalu ditolak. Slip gaji, agunan, riwayat kredit tidak satupun ia miliki. Semua berubah pada Maret 2023, ketika ia diterima sebagai debitur pembiayaan Ultra Mikro (UMi) Holding Ultra Mikro BRI Group sebesar lima juta rupiah, tanpa agunan, dengan proses cepat dan bunga transparan. “Lima juta itu bukan uang besar, tapi membuka pintu yang selama ini tertutup rapat,” katanya.
Dengan modal tersebut, Herlina membeli freezer, kemasan vakum, dan bahan baku dalam jumlah lebih banyak. Sepuluh bulan berikutnya, produksi meningkat lima kali lipat, omzet dari dua setengah juta rupiah naik menjadi sebelas juta rupiah per bulan, dan pesanan merambah Bandung, Balikpapan, serta Bekasi. Ia bahkan menyerap dua tenaga kerja lokal. “Untuk pertama kalinya, saya bisa bilang ke anak: sekolahmu aman,” kata Herlina dengan senyum tipis di Pasar 16 Ilir, 12 November 2024.
Namun perjalanan itu tidak sepenuhnya mulus. Pada Agustus hingga Oktober 2024, harga ikan gabus melonjak hampir dua puluh persen akibat cuaca ekstrem, menurut catatan Disperindag Sumatera Selatan. Herlina menghitung modalnya, minus. Ia menunda cicilan dua minggu karena takut kembali jatuh. “Saya pikir saya akan jatuh lagi,” ujarnya, jelas terdengar ketakutannya. Pendamping UMi wilayah Kertapati, Sulis Apriani, yang diwawancara tatap muka di Kantor PNM Kertapati pada 15 November 2024, mengiyakan. “Orang mengira modal itu penyelamat. Padahal tantangannya baru mulai setelah modal cair: fluktuasi harga, manajemen risiko, persaingan digital.”
Di sisi lain, sekitar lima kilometer dari Pasar 16 Ilir, Junaidi (46) menumpuk kerupuk kemplang yang belum terjual. Dalam wawancara langsung di rumah produksinya di Plaju, 16 November 2024, ia mengungkapkan perjuangan berbeda. Ia menerima UMi empat juta rupiah pada Januari 2024, berharap bisa menambah produksi dan pelanggan. Namun kenyataan berkata lain. Omzetnya justru turun dari tiga juta rupiah menjadi satu koma delapan juta rupiah per bulan, produksi lambat, pekerja tidak bisa dibayar, dan pelanggan berpindah ke penjual online. “Saya tetap jalan di tempat,” katanya lirih.
Fenomena ini sejalan dengan temuan PNM Monitoring Report Juli 2024, yang menyebut bahwa sekitar 12 hingga 15 persen penerima pembiayaan ultra mikro mengalami stagnasi atau penurunan usaha, terutama karena literasi digital rendah dan keterampilan produksi terbatas. Di sini terlihat bahwa modal, meskipun penting, bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan.
Dukungan akademisi menegaskan hal itu. Dr. Ratna Dewi, Peneliti UMKM Universitas Sriwijaya, dalam wawancara di kampus Universitas Sriwijaya, Palembang, 18 September 2024, menekankan bahwa kredit mikro idealnya tidak hanya memberi modal, tetapi juga membangun kapasitas. Tanpa pendampingan berkelanjutan, pelaku usaha berisiko tersangkut lingkaran baru: akses ada, daya saing tidak. Ia menambahkan bahwa pelatihan digital berbasis kebutuhan pasar, manajemen risiko bahan baku, dan akses logistik terjangkau menjadi kunci. “Herlina naik kelas karena mendapat pembinaan intensif, sedangkan Junaidi butuh intervensi berbeda: teknologi, pasar, jejaring,” katanya.
Dukungan institusi juga hadir dalam narasi makro. Kepala Kanwil DJPb Sumsel, R. Dimas Yulianto, menegaskan dalam konferensi APBN KiTa di Palembang, 22 Agustus 2024, bahwa UMi adalah akses, bukan hasil akhir. Kepala OJK Regional 7 Sumatera, Lukman Erfan, dalam Forum Inklusi Keuangan Palembang, 4 Oktober 2024, menyebut bahwa tantangan terbesar bukan penyaluran modal, tetapi literasi dan manajemen usaha. Sunarso, Direktur Utama BRI, dalam BRI Microfinance Outlook di Jakarta, 18 Januari 2025, menyampaikan bahwa fokus institusi bukan menyalurkan kredit sebanyak-banyaknya, tetapi menciptakan UMKM berkelanjutan yang naik kelas.
Di tepian Sungai Musi, dua jalan hidup berputar berlawanan. Herlina menanjak, bangkit, bertransformasi. Junaidi bertahan, terseok, mencari pijakan. Keduanya menerima modal, keduanya bekerja keras, keduanya punya mimpi. Namun hasilnya berbeda. Pertanyaannya bukan lagi apakah modal penting, melainkan apakah modal saja cukup.
UMi membuka pintu, tetapi pintu bukan tujuan. Yang menentukan adalah pendampingan, literasi digital, akses pasar, dan stabilitas bahan baku. Pemberdayaan bukan sekadar memberi uang, tetapi memberi kemampuan. Bangsa maju bukan karena satu kisah sukses, melainkan karena semakin banyak orang diberi kesempatan adil untuk mencoba lagi.
Karena modal membuka pintu tapi kemampuanlah yang menentukan siapa yang bisa melangkah masuk.
