SUMSELDAILY.CO.ID, OKI – Sengketa lahan Hutan Kota Kayuagung, yang telah berlangsung bertahun-tahun, kembali memanas. Aroma ketidakadilan semakin pekat setelah hakim menyelesaikan pemeriksaan setempat pada Senin, 9 September 2024. Sebuah plang besar bertuliskan “TANAH PEMDA OKI DALAM PROSES SENGKETA” tiba-tiba terpampang di lokasi, dipasang oleh Kejaksaan Negeri OKI, yang bertindak sebagai Kuasa Hukum Pemkab OKI.
Ironisnya, pemasangan plang ini melibatkan pengerahan ratusan orang, termasuk aparat kepolisian, TNI, Satpol PP, Dishub, bahkan massa tak dikenal yang didatangkan dengan bus. Pemandangan ini menimbulkan pertanyaan besar, terutama dari pihak ahli waris, tentang bagaimana seharusnya Kejari OKI bersikap dalam kasus ini.
Plang Provokatif: Klaim Sepihak di Tengah Proses Hukum
Plang tersebut, meskipun mengakui adanya sengketa, secara gamblang mengklaim tanah tersebut sebagai milik Pemda OKI. Lebih lanjut, plang tersebut melarang siapapun untuk menempati, menggunakan, atau mengalihkan lahan tanpa izin Pemda OKI. Tindakan ini menimbulkan tanda tanya besar: apakah Kejari OKI, yang bertindak sebagai Kuasa Hukum Pemkab OKI, telah bertindak melampaui batas kewenangannya dalam sengketa yang masih berlangsung?
“Ini jelas tindakan sepihak yang tidak bisa dibenarkan,” kecam Krisnaldi SH, kuasa hukum ahli waris. “Pemasangan plang ini mengintervensi proses hukum yang sedang berjalan dan dapat mempengaruhi independensi pengadilan,” ucapnya.
Ahli Waris Meradang: Keadilan Terancam di Negeri Sendiri
Ahmad Rifai, salah satu ahli waris yang telah berjuang selama bertahun-tahun untuk mendapatkan kembali tanah leluhurnya, merasa geram dengan tindakan Kejari OKI. “Setelah sekian lama kami berjuang untuk mendapatkan kembali tanah leluhur kami, sekarang mereka mencoba mengintimidasi kami dengan plang ini,” ujarnya dengan nada marah.
Namun, ia tetap teguh pada pendiriannya. “Saya tidak akan mundur. Saya akan terus berjuang sampai keadilan ditegakkan,” tegasnya.
Kejari OKI: Antara Penegakan Hukum dan Kepentingan Klien
Tindakan Kejari OKI memasang plang tersebut dengan melibatkan aparat keamanan dan massa yang tidak dikenal menimbulkan pertanyaan serius, terutama dari pihak ahli waris dan pengamat, tentang bagaimana seharusnya Kejari OKI memposisikan diri. Apakah mereka benar-benar bertindak sebagai penegak hukum yang netral, atau ada kepentingan lain yang bermain di balik layar?
“Kejari seharusnya tetap menjaga netralitas dan profesionalitasnya dalam menjalankan tugas sebagai kuasa hukum,” kritik Ketua LSM Font Masyarakat Sumsel Bersatu (FMBS) Sarmedi Udan.
“Tindakan mereka memasang plang, apalagi jika tanpa izin pengadilan, juga dengan pengerahan massa seperti ini, dapat merusak kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum,” tambah dia.
Pengerahan Massa: Intimidasi dan Potensi Konflik
Pengerahan massa dalam proses pemasangan plang ini menjadi sorotan tajam. “Ini adalah upaya terang-terangan untuk mengintimidasi ahli waris dan mempengaruhi proses hukum yang sedang berjalan,” ujar Sarmedi Udan.
“Penggunaan aparat keamanan dan massa sipil dalam konflik perdata seperti ini adalah penyalahgunaan wewenang dan bisa berujung pada konflik horizontal. Kejaksaan seharusnya fokus pada penegakan hukum, bukan menjadi alat politik pihak tertentu,” sambungnya.
Pernyataan Ketua PN: Antara Hak dan Kewajiban
Ketua PN Kayuagung, Guntoro Eka Sekti, menyatakan bahwa Pemkab OKI sebagai tergugat memiliki hak untuk tetap mengelola objek sengketa berdasarkan asas hukum yang berlaku. Namun, pernyataan ini menuai kontroversi, menimbulkan pertanyaan tentang potensi bias dan ketidakadilan dalam memperlakukan pihak yang bersengketa.
Meskipun ada dasar hukum yang dapat diinterpretasikan untuk mendukung pernyataan tersebut, hal ini tetap menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana keadilan dapat ditegakkan jika salah satu pihak diberikan keistimewaan dalam mengelola objek sengketa sementara proses hukum masih berlangsung.
Sengketa Lahan: Ketika Rakyat Kecil Berhadapan dengan Kekuasaan
Kasus sengketa lahan Hutan Kota Kayuagung ini menjadi cerminan dari banyak kasus serupa di Indonesia, di mana rakyat kecil harus berjuang melawan birokrasi dan kepentingan politik yang berkuasa. “Ini bukan hanya soal tanah, tapi juga soal keadilan dan martabat,” ujar Ahmad Rifai, ahli waris yang berjuang sendirian.
Masa Depan Hutan Kota Kayuagung: Antara Pembangunan dan Keadilan
Sementara itu, masa depan Hutan Kota Kayuagung dan SMKN 3 Kayuagung yang berdiri di atasnya masih menggantung. Akankah lahan ini tetap menjadi ruang terbuka hijau bagi masyarakat, atau akan beralih fungsi menjadi proyek pembangunan yang menguntungkan segelintir pihak?.
Di tengah ketidakpastian ini, satu hal yang pasti perjuangan Ahmad Rifai dan ahli waris lainnya adalah pengingat bagi kita semua bahwa keadilan harus terus diperjuangkan, bahkan ketika berhadapan dengan kekuasaan yang tampaknya tak tersentuh.