Pengklaiman Tanah di Desa Sungai Kedukan Banyuasin Diduga Gunakan Dokumen Palsu

  • Bagikan

SUMSELDAILY.CO.ID, PALEMBANG – Beredarnya pemberitaan di salah satu stasiun televisi nasional terkait amar putusan pengadilan, eksekusi, dan status inkrah yang diduga berbeda lokasi desa membuat pihak pelapor merasa dirugikan atas pengklaiman tanah miliknya di Desa Kedukan, Banyuasin, Sabtu (22/11/2025).

Kuasa hukum Ilyas Harmy, Dr. Sudarna SH MH MM, menyatakan bahwa pemberitaan tersebut sangat merugikan kliennya.

“Dalam berita itu, kuasa hukum pihak lain membicarakan keputusan pengadilan. Amar putusannya menyebut letak tanah berada di Desa Sungai Pinang. Namun setelah eksekusi dan inkrah, ternyata lokasi tanah yang diduduki saat ini berbeda desa dan justru berada di wilayah kepemilikan klien kami,” jelasnya.

Menurut Sudarna, pihaknya menduga dasar surat tanah milik terlapor tidak sah.

“Kalau kita lihat surat tanah yang menjadi dasar akta jual beli oleh Ibu Indriana, itu diduga palsu. Letaknya disebut di Desa Sungai Pinang, Talang Pakaian Dusun IV, Kecamatan Rambutan, Kabupaten Musi Banyuasin. Padahal, pada tahun 2001 kecamatan Rambutan belum ada. Kecamatan ini baru terbentuk setelah pemekaran pada 2002. Pemekaran ditahun 2002 sesuai uu no.6/2002 yg disahkan tanggal 10 april 2002 untuk Kecamatan Rambutan dan Kabupaten Banyuasin. Namun di surat itu sudah digunakan stempel Kecamatan Rambutan,” terangnya.

Ia juga mempersoalkan ketidaksesuaian ukuran tanah antara surat dan denah.

“Di surat tanah tertulis luas 8.400 m², tetapi di denah tertulis 10.150 m². Artinya, ukuran di surat dan di peta berbeda,” ujarnya.

Ketidaksesuaian lain juga ditemukan pada Surat Pengakuan Hak (SPH) yang menjadi dasar terbitnya akta jual beli.

“Dalam akta jual beli yang diterbitkan oleh Ibu Indriana, luas tanah tercatat 2.562 m². Namun setelah dilihat ukurannya, ternyata mencapai 5.082 m². Jadi surat yang dimiliki terlapor ini belum jelas. Sebaliknya, tanah milik klien kami di Desa Kedukan sudah bersertifikat resmi, produk negara. Sedangkan surat mereka bukan produk negara. Kami menduga ada unsur konspirasi,” tegasnya.

Baca Juga :   Mantan Sekda Kota Palembang Divonis 2 Tahun Penjara

Dugaan tersebut semakin menguat setelah salah satu pihak yang tercantum dalam Akta Pengoperan Hak mengaku tidak pernah menandatangani dokumen.

“Dalam surat itu, salah satu penandatangan yaitu Camat setempat tidak mengakui tanda tangannya. Bahkan stempel kecamatan yang digunakan adalah edisi 2012, tetapi dicantumkan dalam akta tahun 2004,” kata Sudarna.

Pihaknya meminta aparat penegak hukum menindaklanjuti laporan yang telah mereka ajukan.

“Laporan ini sudah kami sampaikan ke Polda Sumsel sejak dua tahun lalu, tetapi belum ada perkembangan. Kami khawatir laporan ini diabaikan. Kami berharap polisi bertindak tegas terhadap dugaan penggunaan surat tanah palsu,” ujarnya.

Ia menambahkan, saat pihaknya melakukan klarifikasi ke pemerintah desa, data surat tanah tersebut ternyata tidak terdaftar.

“Surat ini fiktif. Meski ada penetapan pengadilan, namun surat tanah yang menjadi dasarnya cacat hukum. Akta jual beli yang dibuat terlapor juga melanggar karena didasarkan pada surat palsu. Ini tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 266 KUHP tentang pemalsuan akta otentik,” tandasnya.

  • Bagikan