Ketika Hukum Adat Berjaya, Petani Menang Telak di PTUN Palembang, SPHAT Dibatalkan

  • Bagikan

SUMSELDAILY.CO.ID, PALEMBANG – Dalam sebuah putusan bersejarah yang mengukuhkan pentingnya hukum adat dalam sistem peradilan Indonesia, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Palembang memenangkan seorang petani bernama M. Toyib dalam sengketa lahan melawan pemerintah.

Putusan ini tidak hanya membatalkan Surat Pengakuan Hak Atas Tanah (SPHAT) yang sebelumnya diterbitkan oleh Camat Kota Kayu Agung dan Lurah Jua-jua, tetapi juga menjadi preseden penting dalam mengakui hak-hak petani atas tanah yang telah lama mereka kuasai dan kelola.

M. Toyib, seorang petani yang telah menguasai, merawat, dan menjaga sebidang tanah selama puluhan tahun, harus berhadapan dengan kenyataan pahit ketika permohonannya untuk mendapatkan alas hak atas tanah tersebut ditolak. Camat Kota Kayu Agung dan Lurah Jua-jua menolak permohonan M. Toyib dengan alasan bahwa SPHAT telah diterbitkan atas nama orang lain yang secara faktual tidak pernah menguasai tanah tersebut.

Merasa haknya dirampas, M. Toyib tidak menyerah. Didampingi tim kuasa hukum dari Firma Hukum MZY LAW FIRM yang dipimpin oleh Advokat Muhammad Zulkifli Yassin, ia mengajukan gugatan ke PTUN Palembang.

Perjuangan ini tidaklah mudah, mengingat kuatnya paradigma hukum positif yang mensyaratkan bukti kepemilikan tertulis atas tanah. Namun, M. Toyib dan tim kuasa hukumnya bertekad untuk membuktikan bahwa hukum adat dan penguasaan fisik atas tanah juga memiliki legitimasi yang kuat.

Keterangan Ahli: Kunci Kemenangan

Dalam persidangan, keterangan ahli hukum tata negara, Kurnia Saleh, menjadi kunci kemenangan M. Toyib. Kurnia Saleh menegaskan bahwa SPHAT yang diterbitkan oleh Camat adalah produk tata usaha negara yang dapat dibatalkan jika tidak sesuai dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), prosedur, dan peraturan perundang-undangan terkait.

Baca Juga :   SKK Migas-KKKS Salurkan Bantuan Bencana Banjir-Longsor di Sumatera Barat

Lebih lanjut, Kurnia Saleh mengkritisi pandangan sempit tentang kepemilikan tanah yang hanya didasarkan pada bukti tertulis.

“Jika kita melihat tanah itu milik siapa hanya dengan adanya surat atau sertifikat, artinya kita tidak ubahnya dengan kolonial dengan prinsip domain verklaring. Siapa yang punya tanah hanyalah dia yang punya sertifikat,” ujarnya.

Ia menekankan pentingnya mengakui hukum adat dalam urusan pertanahan, sesuai dengan semangat Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang merupakan produk founding father bangsa Indonesia.

Majelis Hakim PTUN Palembang, yang terdiri dari Hakim Ketua Daily Yusmini, Hakim Anggota Bernelya Novelin Nainggolan, dan Hakim Anggota Andini, akhirnya mengabulkan gugatan M. Toyib.

Putusan ini tidak hanya membatalkan SPHAT yang merugikan M. Toyib, tetapi juga memerintahkan pemerintah untuk mencabut semua surat yang telah diterbitkan terkait tanah tersebut.

Muhammad Zulkifli Yassin, Ketua Tim Kuasa Hukum Penggugat, menyambut baik putusan ini. Ia melihatnya sebagai momentum penting dalam penguatan hukum pertanahan nasional, terutama bagi tanah-tanah adat yang belum memiliki surat kepemilikan resmi.

“Hakim PTUN Palembang telah menjatuhkan putusan yang sesuai dengan fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan dan memberikan rasa keadilan bagi masyarakat kecil seperti M. Toyib,” tutupnya.

Kemenangan M. Toyib di PTUN Palembang adalah sebuah kemenangan bagi petani dan masyarakat adat yang selama ini kerap menghadapi ketidakadilan dalam sengketa lahan. Putusan ini menjadi preseden penting yang menunjukkan bahwa hukum adat dan penguasaan fisik atas tanah juga diakui sebagai dasar kepemilikan yang sah.

  • Bagikan